Kamis, 26 Desember 2013

Mendidik Anak Memahami Kehidupan

Just sharing from a friend:

"Mendidik Anak Memahami Kehidupan"

Ketika Anda ditanya, apa yang diharapkan seorang ibu untuk anaknya? Jawabannya bisa ditebak: ingin anaknya sehat, sukses, dan bahagia. Begitulah bayangan anak yang sempurna di mata kita. Itulah juga yang mendorong kita untuk menjadi 'ibu yang sempurna'. Ibu yang segala bisa, mulai dari jago masak, mampu menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga, hingga pintar mencari uang. Kita pun rela melahap buku-buku parenting, mengikuti berbagai seminar atau workshop agar bisa menjadikan anak kita sempurna.

Kenyataannya, semua usaha jungkir balik itu juga belum tentu menjamin anak tumbuh sesuai yang kita harapkan. Fakta menunjukkan, semakin banyak anak sekarang yang mengalami obesitas, autisme, depresi, serta masalah perilaku lainnya. Sebagai ibu, kita pun jadi bertanya-tanya, apa yang salah dari saya?

Kesalahan paling mendasar menurut Dr. Shefali Tsabary, Ph. D, psikolog klinis dari Columbia University, New York, Amerika Serikat, dan pencetus mindfulness psychology, terletak pada persepsi kita tentang kesempurnaan. Selama ini kita menganggap bahwa kesuksesan sebagai orang tua adalah ketika anak kita meraih kesempurnaan. Sayangnya, ukuran kesuksesan dalam budaya kita lebih ditentukan oleh hal-hal yang 'tampak luar' saja: gelar, jabatan, dan materi. Keyakinan ini diturunkan dari generasi orang tua kita.

Keyakinan inilah yang membuat kita merasa harus melakukan banyak hal demi membahagiakan anak. Kita harus membekali mereka segudang nasihat agar menjadi orang yang sukses. Padahal, semakin dalam juga kita terjebak dalam ilusi untuk mengejarnya, semakin kita lelah, frustasi, dan depresi, karena ternyata kita tidak akan pernah mencapai kesempurnaan itu.

Dorongan untuk menjadi sempurna itu sebenarnya upaya untuk menutupi pengalaman pahit kita di masa lalu. Kalau dulu kita hidup susah, jangan sampai anak kita juga susah. Karena itu, kita harus mampu menyekolahkan anak di sekolah yang terbaik, mencukupi semua kebutuhan mereka, melindungi mereka agar selalu merasa aman dan senang. Dengan begitu, tanpa disadari kita menutupi kesempatan anak untuk belajar memahami arti hidup yang sesungguhnya, termasuk memahami arti kegagalan.

Fokusnya bukan pada anak.
Reza Gunawan, praktisi penyembuhan holistik dari True Nature Healing, mengamati kecenderungan para orang tua, khususnya ibu, yang terlalu memfokuskan kepada anak dalam menyelesaikan setiap masalah. Misalnya, anak baru demam sehari, langsung sang ibu panik dan buru-buru memberi obat penurun panas. Anak minder atau sulit belajar, langsung dibawa ke psikolog. Mereka merasa ada yang perlu dibereskan dalam diri anak mereka.

"Sebenarnya reaksi itu tidak salah, hanya tidak menuntaskan akar masalahnya," ujar Reza. Ketika anak bermasalah atau sakit, kita jadi lebih mengandalkan obat atau orang lain -dokter atau psikolog- untuk menyembuhkannya. Kita tidak sadar kalau sejatinya setiap anak memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa untuk menyembuhkan diri sendiri. Kita juga tidak sadar bahwa kondisi emosi kita, suami, atau vibrasi tempat tinggal kita justru lebih besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan kesehatan mereka.

"Ketika anak lahir hingga usia 7 tahun, mereka masih berada pada gelombang trans. Mereka akan langsung menyerap apa yang dilihat dan didengar dari orang-orang di sekelilingnya. Mereka juga mampu bertelepati dengan orang tuanya. Mereka bisa merasakan kalau ibunya sedang sedih atau stres. Dan segala yang kita lakukan terhadap mereka di masa ini akan terus melekat dalam ingatan mereka hingga dewasa," tutur ayah dua anak ini. Dengan kata lain, apa pun masalah yang terjadi pada anak kita saat ini, penyebabnya bukan ada pada mereka. Melainkan diri kita sendiri. Pertanyaannya: sadarkah kita akan hal ini?

Semoga manfaat barakallah...
#notetoself #reminder #ngacasendiri #changemyself #becomingabetterme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar